Sabtu, 13 Maret 2010

Catatan kecil masa laluku


Catatan kecil masa laluku
Tak terasa, kebersamaan selama enam tahun telah berlalu. Aku yang dulunya tak bisa membaca dan menulis, kini telah siap menyongsong masa depan, dengan tahap awal menyelesaikan pendidikan di tingkat paling dasar. Kilasan peristiwa, suka dan duka, kembali melintas di benakku, guru dan siswa-siswi lainnya. Sontak isak tangis tak lagi terbendung. Aku yang semula tidak ingin larut dalam kesedihan, kini tak terasa air mataku membasahi pipi. Acara perpisahan sekolah selalu menjadi momen bahagia, membanggakan, sekaligus menyesakkan dadaku. Berat untuk berpisah setelah bertahun-tahun menimba ilmu untuk membebaskan aku dari buta hurup, yang diberikan oleh guru dengan kasih dan bekal ilmu.
Selepas dari sekolah dasar, aku melanjutkan pendidikan ke jenjang setingkat lebih tinggi. Merupakan pendidikan lanjutan untuk tingkat pertama. Dari sinipun proses pentrasperan ilmupun terjadi. Aku yang dulu kecil kini tumbuh beranjak remaja. Selangkah demi selangkah aku mulai memahami arti dunia. Ternyata dunia aku kini tidaklah sama dengan duniaku waktu kecil. Sewaktu kecil aku selalu diajarkan oleh kedua orang tuaku untuk hidup dalam kemandirian. Apakah itu urusan pelajaran yang aku dapat dari sekolah, maupun hal-hal yang bersipat amat pribadi. Selain itu, orang tuaku selalu menanamkan sifat rasa saling tolong menolong antar sesama tanpa adanya perbedaan, apakah warna kulit, suku, ras, maupun agama. Karena kata ibuku manusia di atas dunia ini semuanya sama di mata Tuhan, hanya yang membedakan tingkat keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah SWT. Itu pula yang membuat aku memiliki banyak teman, baik laki-laki maupun permpuan. Aku merasa sangat nyaman dan bahagia ketika aku berada di tengah-tengah mereka, apalagi aku dapat memberikan kebaikan kepada mereka. Rasa untuk saling berbagi itu aku dapat dari rasa keingintahuanku terhadap sesuatu hal yang baru. Aku tak peduli apakah itu bersifat fakta maupun bersifat abstrak. Dan karena itu aku punya motto hidup ” berilah kebaikan itu kepada orang lain, sebelum orang lain memberikan kebaikan kepada kita ”. Semuanya mengalir bak air kelautan. Tak ada pertikaian, tak ada permusuhan, dan tak ada rasa saling mendominasi. Waktu kecilku penuh dengan warna-warni yang selalu merona setiap orang yang berada di sekelilingku.
Aku sangat bersyukur pada Tuhan, karena aku dilahirkan dari seorang wanita seperti ibu. Ibuku seorang fugur wanita yang aku kagumi. Selain berhati lembut, penyayang terhadap anak-anaknya dan tidak pernah ada perselisihan dengan orang-orang di sekelilingnya. Ibuku bagaikan cahaya matahari yang selalu menyinari hidupku dengan ketulusan hati. Jasanya tak dapat digantikan dengan apapun.
Akan tetapi kehangatan itu tidak aku dapatkan lagi ketika aku naik kelas lima sekolah dasar. Pada suatu hari, ketika aku sedang sibuk mengerjakan pekerjaan rumah, ibuku pergi ke halaman untuk motong rumput yang sudah mulai tinggi. Ibu membawa sebatang sabit yang akan dipergunakan untuk memotong rumput. Kemudian ibu memulai pekerjaannya. Matahari yang menyengat memaksa ibu memakai topi lebar yang terbuat dari anyaman bambu. Jika dilihat dari kejauhan ibuku bagaikan seorang pendekar yang siap membasmi kejahatan di permukaan bumi. Dari sebelah barat melintas sebuah mobil PS yang berisi buah kelapa sawit yang diangkut dari kebun warga. Dan diiringi oleh mobil Jimi Katana dengan nomor polisi BD 1354 AD. Aku tidak tau apakah mobil itu milik warga disana atau mobil itu hanya melintas. Tapi yang jelas aku menikmati pemandangan itu dari atas rumahku.
Tidak bebarapa lama kemudian, setelah ibu memulai pekerjaannya aku mendengar teriakan meminta tolong. Ketika itu aku tengah berada di dapur untuk melanjutkan tugasku memasak di hari itu. Sontak membuat aku kaget, tapi aku belum tau arah sumber suara itu. Tak berselang lama kemudian suara itu terdengar lagi, ” tolong..tolong ” akupun bergegas menuju sumber suara. Betapa kaget setibanya aku disana, melihat keadaaan di luar bayanganku. Ternyata suara yang minta tolong tadi adalah suara ibuku. Ibu minta tolong karena ibu sakit perut yang tidak bisa berdiri. Akupun secara spontan melonjat dari dalam rumah pergi menolong ibu. Aku sempat panik karena sakit ibu semakin menjadi-jadi. Setelah ibu aku bawa kedalam rumah aku pergi mencari bantuan kepada tetangga sekitar. Kebetulan rumah yang berada disamping kanan rumahku ada pekerja tengah memperbaiki rumahnnya. Aku pergi ke sana, dan minta tolong agar bisa menolong ibuku yang sedang sakit perut. Lalu pekerja itu datang. dan kemudian aku diperintahkan untuk mengambil air putih lalu pekerja itu komat kamit membaca mantra yang aku sendiri tidak tau apa isi mantra itu. Tapi aku tidak ambil pusing dengan hal itu. Tekad ku hanya satu, yaitu ibuku sembuh dari sakitnya. Selang beberpa lama kemudian, setelah pekerja itu memberi ibuku minum air putih yang telah berisi mantra-mantranya, pekerja itu berkata, ” ibumu bukan sakit biasa, tetapi sakit karena kemasukan ”. Aku tidak tau apa maksud dari perkataan perkerja itu, dan dia sendiri tidak mau menjelaskan lebih rinci, karena aku masih kecil yang tidak boleh tau dengan hal yang begituan. ” Jadi bagaimana Pak dengan sakit ibuku, apakah ibuku akan baik-baik saja..?,” tanyaku dengan nada cemas. ”Jangan khawatir, ibumu hanya butuh orang pintar untuk membebaskan dari sakitnya.” jelas Bapak itu, yang belakangan diketahui Zulkifli nama Bapak itu. Tapi aku tetap tidak menerima begitu saja perkataan Bapak itu, akupun pergi menjemput ayah yang sedang bekerja di kebun yang jaraknya kira-kira dua kilo meter. Setibanya aku dikebun, berita itu aku sampaikan ke ayah dan secara bergegas ayahpun pulang bersamaku. Dalam perjalanan kami nyaris tidak bersuara, karena berita kesakitan ibu cukup membuat ayah sok. Hanya beberapa kali saja ayah bertanya, itupun dengan nada sedikit marah. Aku tidak tau apa yang sedang dalam pikiran ayah.
Setelah menempuh perjalanan yang melelahkan, akhirnya kamipun sampai juga. Ayah dengan segera menghampiri ibu yang sedang menangis menahan rasa sakit dalam kamarnya. Kemudian ayah menghapus air mata ibu sambil sesekali miminta ibu untuk bersabar dan untuk tidak menangis. Aku hanya bisa menyaksiakan dari belakang ayah, betapa bahagianya ibu takkala ayah memperlihatkan rasa kasih sayangnya kepada ibu. Meskipun begitu rasa sakit masih saja menghantam ibu.
Keesokan harinya, ibu kami datangkan seorang dokter untuk memeriksa apa penyakit yang tengah diderita ibu. Setelah diperiksa kemudian ibu diberi obat untuk diminum, lalu dokter itupun pergi. Keesokan harinya ayah mendatangkan seorang paranormal untuk melihat penyakit ibu. Setelah beberapa ritual dilakukan oleh para normal itu, kemudian iapun pergi. Namun sakit ibu tetap saja tidak berkurang. Begitulah penyakit yang diderita ibu. Hampir 4 bulan lebih ibu menanggungnya dengan rasa sakit yang nyaris tidak pernah berkurang.
Hingga pada akhirnya, kira-kira pukul 12 malam, saat kami telah pada tidur nyenyak, tiba-tiba ayah membangunkan kami. Kamipun dengan mata yang belum terbuka secara normal, menghampiri ibu. Kemudian ibu memanggil namaku, ” Hairi, perjalan ibu telah panjang nak, rasanya ibu tidak mungkin bersama kalian lagi, rasa sakit ibu tidak mungkin bisa sembuh, ibu hanya berharab padamu nak, karena kamulah satu-satunya tulang punggung dari adik-adikmu, jagalah dia baik-baik. Jangan marahi dia, jangan sakiti dia, katakan pada mereka jika pada suatu saat nanti mereka menanyakan ibu, jika ibu telah lebih dulu dipanggil Allah. Ibu sayang kalian nak. Sayang kalian semua.” kemudian ibu memandangi ayah dan berkata, ” yah, ikhlaskan kepergian ibu, ibu tidak mau melihat ada diantara keluarga kita menangisi kepergian ibu. Jaga anak-anak baik-baik yah, ibu sayang ayah, ” dengan nada yang tersendu-sendu ayah pun menjawab, ” iya bu, ayah juga sayang ibu, ayah berjanji akan menjaga anak-anak kita, ayah telah ikhlas bu, dari pada ibu menderita seperti ini, ” belum sempat aku menjawab perkataan ibu, tepat pukul 12 lebih 10 menit ibu menghembuskan nafas terakhirnya. Air matakupun tak kuasa aku bendung sehingga aku menangis dalam pelukan ibu. Kini ibu telah tiada, pergi meniggalkan aku dan keluarga untuk selama-lamanya. Pergi meninggalkan kami dalam kepiluan. Dan kehangatan itu tidak pernah bisa kembali lagi. Semoga ibu akan damai selalu di alam sana.

Bersambung....................................

Oleh : Hairi Yanto
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris
Fakultas Ilmu Budaya - Adab

Kini aku tengah duduk di kelas 7 Tsanawiyah Negeri. Sebauah sekolah agama yang berada di tengah kota kecil, tapi penuh dengan keramaian. Penduduk di sana mayoritas bekerja sebagai PNS, petani, nelayan dan bahkan ada juga bekerja sebagai buruh kasar. Bagi mereka perbedaan status sosial bukanlah hal yang penting untuk diperbincangkan karena hal semacam itu hanya akan menimbulkan sebuah perpecahan yang tak berujung. Namun yang paling penting adalah bagaimana membangun kedekatan hubungan emosianal agar tercipta masyarakat yang lebih harmonis. Akupun terlibat dalam keharmonisan kehidupan mereka, meskipun aku bukanlah penduduk asli disana. Karena aku melanjutkan sekolahku bukan dikampungku sendiri, tetapi aku sekolah keluar daerah. Semula aku menolak permintaan orang tuaku untuk sekolah jauh karena aku memang sudah terbiasa mengerjakan aktivitas dengan sendiri, tapi aku belum terbiasa berpisah jauh dari ibuku. Waktu itu yang ada dalam pikiranku hanyalah kesedihan yang bakal menghalangi aku untuk bertahan disana, dan aku takut seandainya aku memaksakan diri untuk mengikuti kemauan ayah, aku bakal putus sekolah di tengah jalan. Aku tidak mau hal itu terjadi. Tapi akupun tidak kuasa menolak ketika
Tak terasa 3 tahun telah pergi meninggalkanku. Dan akupun dinyatakan lulus dari tingkat pertama. Maka akupun kembali memulai babak baru.
Berakhir dari lanjutan pertama, aku masih belum puas untuk tetap menambah pendidikanku. Karena untuk menghadapi zaman di generasiku nanti kita dituntut untuk sekolah lebih tinggi, agar kita lepas dari penindasan orang-orang pintar. Akupu melirik ke sekolah lanjutan atas. Namun kali ini aku harus berjuang sendiri. Karena untuk menyekolahkan aku ditingkat SMA orang tuaku tidak lagi memiliki biaya. Perjuanganpun aku mulai dengan hanya bermodalkan kemauan. Karena aku teringat dengan sebuah pepatah ” dimana ada kemauan di situ ada jalan ”. Dengan modal itulah aku harus jatuh bangun mencari biaya dengan bekerja di sebuah perusahaan peternakan ayam sepulang dari sekolahku. Itu terbukti dengan merosotnya nilaiku diakhir semester. Karena aku kesulitan membagi waktu antara bekerja dan belajar. Aku sempat dipanggil oleh guru bimbingan konseling. Setelah aku berikan penjelasan tentang keadaanku yang sebenarnya gurupun memahami keadaanku. Masa SMAku terbilang kurang mengasyikan dibandingkan dengan teman-teman sebayaku. Tapi itu bukan alasan bagiku untuk tidak mampu bangkit dari keterpurukan. Sampailah pada akhirnya aku mampu menembus pendidikan SMA ku dengan lulus terbaik 3. sehingga aku bisa masuk perguruan tinggi melalui jalur PMDK. Dan saat ini aku masih melanjutkan studyku disebuah Institut Agama Islam Negeri Padang. Mengambil jurusan Bahasa dan Sastra Inggris.
Dari perjalan singkat masa pendidikan itu, ada hal yang sangat berarti dalam hidupku. Dan hal ini tidak mungkin bisa terulang kembali saat sekarang. Hal yang menarik itu adalah betapa pentingnya keharmonisan dalam ranah pendidikan. natara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anda merasa punya tanggapan tentang tulisan ini, silakan komentar yang bersifat membangun..!!