
PERAN PERGURUAN TINGGI
DALAM MEMBANGUN KEHIDUPAN SOSIAL
Perguruan tinggi merupakan back bone (tulang punggung) dalam pembangunan kehidupan sosial masyarakat atau lazim disebut sebagai wadah dalam menciptakan intelektual-intelektual yang handal yang siap diterjunkan di tengah-tengah masyarakat. Jika kita perhatikan secara seksama hubungan perguruan tinggi dengan pembangunan nasional adalah tingkat perkembangan suatu Negara sebagian besar ditentukan oleh tingkat pendidikan tingginya, sedangkan standar pendidikan tinggi sebagian besar tergantung kepada prestasi perguruan tinggi tersebut dalam menghasilkan para lulusan yang berkualitas, sehingga siap diterjunkan di tengah-tengah masyarakat untuk menghadapi persaingan dunia kerja pada era globalisasi.
Selanjutnya, salah satu indikator dalam menilai maju mundurnya sebuah perguruan tinggi terletak seberapa lengkap sarana penunjang yang dimiliki oleh sebuah perguruan tinggi dalam memenuhi kebutuhan informasi dan proses pembelajaran bagi para penggunanya, dan yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana keahlian atau kemampuan pengguna dalam melakukan penelusuran dan pemanfaatan sumber-sumber informasi dan pembelajaran yang ada di dalamnya. Oleh sebab itu kehadiran sebuah perguruan tinggi yang diiringi dengan sistem manajemen yang terstruktur sangat urgen sekali dalam usaha membangun kehidupan sosial yang demokratis untuk mengimbangi kemajuan ilmu pengetahuan yang semakin modern.
Namun yang penulis temui di tengah-tengah masyarakat idealnya tidak demikian, tingginya peminat para pelajar untuk bisa memasuki sebuah perguruan tinggi, tidak diimbangi dengan sarana penunjang yang lebih komplit, sehingga tidak bisa dielakkan lulusan dari sebuah perguruan tinggi tidak memiliki kualitas intelektual yang handal dan selalu di posisikan pada urutan paling bawah. Artinya para sarjanawan sarjanawati lulusan sebuah perguruan tinggi tersebut belum bisa memberikan kontribusi apa-apa demi terciptanya pembangunan kehidupan sosial. Akhirnya yang terjadi adalah perguruan tinggi bukannya berperan serta dalam melahirkan intelektual-intelektal yang handal yang diharapkan mampu melakukan pembangunan kehidupan sosial, akan tetapi melahirkan pengangguran intelektual yang akan menambah deratan-deretan panjang sebagai penghambat terciptanya pembangunan kehidupan sosial. Yang seharusnya hal semacam itu tidak perlu terjadi, mengingat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknoligi yang semakin modern dan didukung dengan menjamurnya perguruan-perguruan tinggi yang memiliki sarana dan prasarana belajar yang komplit, sehigga diharapkan mampu menjawab perkembangan zaman. Tinggal bagaimana respon dari para pelajar dalam menyikapi dan mengambil sikap apa yang harus dimiliki oleh para pelajar dalam menghadapi tantangan demi tantangan tersebut. Para pelajar, “kalau boleh penulis gunakan istilah” seharusnya tidak hanya berpangku tangan dengan mengunakan sistem menunggu bola, tetapi harus jemput bola, artinya apa, jika kita telah mengetahui kelemahan dan kekurangan yang dimiliki sebuah perguruan tinggi kita tidak menjadikan hal tersebut sebagai alasan untuk tidak belajar lebih baik. Karana apa, ukuran belajar yang baik itu tidak hanya kita mengkonsumsi buku pelajaran yang diberikan dosen, tetapi masih banyak buku-buku pelajaran yang lain yang bisa dijadikan sebagai media belajar, baik itu berupa perpustakaan, internet, media cetak, media elektronik, dan masih banyak lagi yang lain yang kesemuanya itu siap menjawab semua kebutuhan para mahasiswa.
Ini terkadang justru sebaliknya, dengan mengantongi kekurangan yang dimiliki oleh sebuah perguruan tinggi membuat seorang mahasiswa merasa bangga dan tenggelam dalam ketertinggalan informasi, ia enggan dan malas mencari jalan alternative untuk menambah wawasan. Dan bahkan yang sangat sedih sekali adalah banyak dari para mahasiswa yang memakai sistem “DDP” (Datang Duduk Pulang). Setiap hari mereka lakukan hal semacam ini. Saatnya waktu belajar telah tiba mereka masuk lalu duduk mendengar dosen menerangkan barang beberapa menit, jika ada diskusi mendengarkan pemateri membacakan hasil diskusinya, lalu minta permisi dengan alasan beribu alasan lalu jika titanya paham apa yang disampaikan mereka dengan semangat menjawab paham. Karena merka ingin dosen segra mengakhiri pelajaran pada hari itu dan saat waktunya habis meraka pulang pas saat dosen mengadakan ujian mereka tidak bisa menjawab soal-soal yang diberikan kepadanya maka yang terjadi pada saat itu adalah aksi toleh kiri toleh kanan depan dan belakang untuk mendapatkan jawaban dari teman, yang ada dalam benak mereka hanya berfikir bagaimana ujian tersebut jawabannya harus mereka dapat walaupun menghalalkan segala cara. Sehingga yang mereka dapat selama mengikuti perkuliahan tidak membawa pengaruh yang berarti untuk kemajuan kehidupan sosial, hanya saja dijadikan sebagai ajang perkenalan. atau dengan istilah menghabiskan waktu muda saja.
Apakah mereka puas sampai disitu…..? tidak..! mereka malah memutar balikkan keadaan dengan mengkambing hitamkan perguruan tinggi sebagai biang kerok kegagalan atas dirinya dengan menyebut-nyebut perguguan tinggi itu tidak berkualitaslah, tidak baguslah, prosfeknya kedepan sangat sempitlah dan lain-lain. Faktanya belum pernah ditemukan sebuah perkuruan tinggi manapun yang merugikan para mahasiswanya. Apalagi tidak menunai kewjibannya sama sekali. Hanya saja mereka kurang menyadari apa yang telah mereka perbuat selama mengikuti perkuliahan itu adalah belum maksimal jika dibandingkan dengan fasilitas yang disediakan oleh sebuah perguruan tinggi.
Oleh : Hairi yanto
Mahasiswa IAIN IB PDG
Fakultas ilmu budaya-adab
Jurusan bahasa dan sastra inggris
Semester VI
Memang enar adanya, tidak jarang kita temui ditengah-tengah kehidupan masyarakat kampus yang kecendrungan mereka adalah lebih mengedepankan kebebasan yang tidak terarah....
BalasHapus